






Orangutan merupakan salah satu kera besar yang memiliki pola hidup arboreal (hidup di pepohonan), frugivora (makanan utama berupa buah), dan cenderung semi-soliter. Karakter ini menjadikan orangutan unik, sebab mereka jarang membentuk kelompok sosial permanen, tetapi tetap melakukan kontak sosial dalam situasi tertentu seperti musim kawin, feeding group, yaitu kumpulan beberapa individu yang memanfaatkan pohon pakan yang sama, atau travel band, kelompok sementara yang terdiri dari jantan remaja yang menjelajah bersama untuk mencari sumber makanan.
Keunikan sistem ini menunjukkan fleksibilitas orangutan dalam beradaptasi dengan kondisi ekologi. Mereka mampu hidup sendiri untuk mengurangi persaingan, namun tetap bisa membangun interaksi sosial ketika diperlukan. Unit sosial dasar biasanya terdiri dari induk betina dengan satu atau dua anaknya, jantan dewasa cenderung hidup menyendiri, meski sesekali berinteraksi dengan betina pada musim kawin.
Salah satu momen penting dalam interaksi sosial orangutan adalah ketika pohon buah, terutama dari genus Ficus, sedang berbuah lebat. Pohon Ficus dikenal sebagai "supermarket hutan" karena menghasilkan buah dalam jumlah besar dan sering kali menjadi sumber makanan bagi berbagai satwa. Pada saat pohon Ficus matang, orangutan akan datang secara bersamaan dan membentuk feeding group. Asosiasi semacam ini bersifat temporer, berlangsung selama buah tersedia, lalu bubar ketika sumber pakan habis.
Fenomena ini pertama kali diamati di Ketambe pada tahun 1980-an, kemudian diperkuat dengan temuan di Suaq Balimbing, Aceh Timur. Menariknya, individu yang sering terlihat bersama dalam feeding group biasanya memiliki hubungan kekerabatan. Betina yang bersifat philopatric, cenderung tetap berada di daerah kelahirannya, sering kali berbagi pohon pakan dengan kerabat dekatnya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kekerabatan memengaruhi pola asosiasi sosial orangutan.
Philopatri betina memiliki implikasi besar terhadap dinamika sosial orangutan. Karena betina tetap tinggal di daerah kelahirannya, maka peluang bertemu kerabat dalam satu area menjadi tinggi. Situasi ini menimbulkan dua konsekuensi yaitu persaingan dan toleransi. Di satu sisi, philopatri meningkatkan persaingan antar betina dalam memperebutkan sumber pakan. Ketika buah terbatas, betina dapat menunjukkan perilaku dominansi, bahkan agresi, terhadap individu lain.
Namun, di sisi lain, hubungan kekerabatan juga mendorong terbentuknya toleransi. Betina dominan cenderung lebih sabar terhadap anak atau kerabatnya dibandingkan terhadap individu pendatang. Toleransi induk terhadap anak terlihat jelas pada fase awal kehidupan. Induk memberikan perhatian penuh saat anak masih kecil, baik ketika mencari makan maupun saat bergerak. Namun, perhatian ini berkurang seiring bertambahnya usia anak. Remaja mulai lebih mandiri, dan hubungan sosial antara induk-anak berubah menjadi lebih longgar.
Sistem sosial orangutan juga ditandai oleh adanya hirarki dominansi, meski tidak sekuat pada primata lain seperti simpanse atau gorila. Dominansi biasanya ditunjukkan oleh jantan dewasa dalam memperebutkan pohon pakan atau pasangan kawin. Namun, penelitian di Ketambe menunjukkan bahwa betina juga dapat membentuk hirarki, terutama saat berebut akses ke pohon pakan besar seperti giant strangler figs. Displacement atau pengusiran antar individu di pohon pakan. Meskipun agresi antar betina jarang dilaporkan di lokasi lain, di Ketambe fenomena ini cukup jelas terlihat. Dan, hasil penelitian menunjukkan bahwa orangutan liar lebih dominan dibanding eks-rehabilitan.
Dalam banyak kasus, eks-rehabilitan hanya bisa menunggu giliran untuk masuk ke pohon pakan setelah individu liar selesai. Namun, menariknya, dominansi juga terbentuk di antara eks-rehabilitan sendiri. Induk bisa bersaing dengan anak, atau saudara bisa saling mengusir demi mendapat akses pakan. Fenomena ini menunjukkan bahwa meski memiliki posisi lebih rendah dibanding orangutan liar, eks-rehabilitan tetap memiliki dinamika sosial internal yang kompleks. Hal ini menandakan bahwa konteks ekologis, seperti ketersediaan pakan, sangat berpengaruh pada munculnya dominansi di antara betina. Dan, Implikasi dari temuan ini sangat penting bagi program rehabilitasi dan pelepasliaran. Keberhasilan individu eks-rehabilitan dalam bertahan hidup sangat dipengaruhi oleh kemampuannya menghadapi persaingan dengan populasi liar.
Salah satu studi kasus menarik adalah Keluarga Binjei. Binjei adalah orangutan betina eks- rehabilitan yang dilepasliarkan pada 1972. Dari Binjei, lahir beberapa keturunan yang kemudian membentuk keluarga besar di Ketambe. Analisis genetik mengonfirmasi bahwa setidaknya ada dua keluarga yang merupakan keturunan langsung Binjei, di samping empat keluarga lain yang berasal dari orangutan liar. Pengamatan terhadap keluarga Binjei menunjukkan adanya dominansi rendah dibanding keluarga liar. Namun, keturunannya tetap mampu bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini menjadi bukti bahwa program pelepasliaran dapat berhasil, meski eks-rehabilitan menghadapi tantangan sosial dan ekologis.
Selanjutnya, diketahui juga penjelajahan orangutan mengandalkan memori spasial untuk mengingat lokasi pohon pakan, sehingga jalur jelajah cenderung tetap dan berulang. Rata-rata jarak jelajah harian orangutan betina di Ketambe berkisar antara 400–800 meter, meski bisa jauh lebih panjang pada kondisi tertentu. Jarak jelajah ini dipengaruhi oleh distribusi dan ketersediaan buah. Saat buah melimpah, jelajah lebih pendek karena pakan mudah ditemukan. Sebaliknya, saat buah langka, orangutan harus berkelana lebih jauh. Luas home range atau daerah jelajah juga bervariasi. Betina biasanya memiliki wilayah antara 70–150 hektar, sedangkan jantan dewasa dapat memiliki wilayah jauh lebih luas.
Menariknya, antar individu berkerabat, terutama betina, home range mereka sering kali tumpang tindih, menunjukkan adanya toleransi dan keterkaitan sosial. Antar individu berkerabat, tingkat overlap bisa mencapai 90%, terutama pada betina dan anak betina yang tetap berada dekat induknya. Hal ini mencerminkan strategi bertahan hidup dengan memanfaatkan ingatan dan kedekatan sosial. Namun, tumpang tindih juga bisa menjadi ancaman. Jika habitat semakin menyempit akibat deforestasi atau perambahan, maka persaingan akan meningkat. Orangutan yang semula bisa hidup berdampingan terpaksa harus berkonflik karena sumber daya terbatas. Oleh sebab itu, fenomena overlap harus dipahami bukan hanya sebagai strategi sosial, tetapi juga indikator kerentanan ekosistem.
Sosioekologi orangutan sumatra, khususnya di Ketambe, sangat dipengaruhi oleh pola kekerabatan, dominansi, dan strategi pemanfaatan ruang. Betina liar umumnya lebih dominan
dibanding eks-rehabilitan, tetapi keduanya sama-sama menunjukkan toleransi terhadap kerabat dekat. Feeding group terbentuk terutama saat pohon pakan melimpah, sedangkan home range yang saling tumpang tindih menandakan adanya keterikatan sosial sekaligus tantangan kompetisi.
Pemahaman sosioekologi orangutan tidak hanya penting bagi ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi landasan strategis dalam upaya konservasi. Dengan menjaga habitat, mengelola kepadatan populasi, dan memperhatikan dinamika sosial, maka kelestarian orangutan sumatra dapat lebih terjamin di tengah ancaman deforestasi dan fragmentasi habitat.
Informasi lebih lanjut dapat diakses pada tesis tentang Sosioekologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1982) berkerabat dalam pemanfaatan ruang di Stasisun Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara.



Terkait