Bicara tentang isu ketahanan pangan tidak terlepas dari konsep keberagaman pangan. Demi tercapainya ketahanan pangan yang ideal, kita mesti memiliki ketersediaan pangan yang beragam. Dengan demikian, jika satu jenis pangan mengalami krisis atau langka, masih ada yang lainnya sebagai pengganti.
Dalam situs web wri-indonesia.org, disebutkan bahwa Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat. Namun, dari semua itu hanya nasi yang menjadi andalan utama saat ini. Realita menunjukkan, dari Sabang sampai Merauke, kita semua amat bergantung pada nasi. Bahkan ada ungkapan populer, orang Indonesia belum kenyang kalau belum makan nasi.
Pernahkah kita berpikir mengapa di negara seluas ini hanya nasi yang menjadi andalan satu-satunya? Bagaimana jadinya bila nanti terjadi kelangkaan beras atau krisis alam berkepanjangan? Apalagi secara agroklimatologis tidak semua wilayah di nusantara cocok untuk ditanami padi.
Salah satu contohnya di daerah asal saya, Nusa Tenggara Timur. Provinsi NTT setiap tahunnya mengalami kemarau yang panjang dan mayoritas wilayahnya memiliki tekstur tanah kering dan berbatu.
Di akhir Agustus ini, BMKG menghimbau masyarakat NTT untuk mewaspadai ancaman bencana kekeringan, karena saat ini telah berada dalam periode musim kemarau. “Saat ini 100 persen dari total Zona Musim di NTT berada pada periode musim kemarau, sehingga perlu waspada terhadap ancaman bencana kekeringan” kata Rahmattulloh Adji, Kepala Stasiun Klimatologi Kelas II NTT (antaranews.com, 24/08/23).
Bertolak dari tantangan dan persoalan alam di NTT, maka kebijakan pangan yang bias beras mesti dibaharui. Seharusnya kebijakan pangan yang berkelanjutan mesti memprioritaskan juga pangan lokal.
Pangan lokal merupakan tanaman endemik yang terbukti adaptif dengan kondisi alam di wilayah bersangkutan. Oleh karena itu, sorgum sebagai pangan lokal dapat menjadi solusi ketahanan pangan khususnya di wilayah NTT.
Sorgum Pangan Lokal Warisan Leluhur
Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) merupakan pangan lokal jenis serealia. Sepintas tanaman sorgum berbentuk seperti jagung. Namun, saat sudah dewasa sorgum memiliki malai berbulir yang menjadi pembeda.
Secara kultural sorgum memiliki jejak sejarah yang panjang. Tanaman sorgum merupakan salah satu ragam tanaman biji-bijian yang terpahat dalam relief Candi Borobudur, yang dibangun pada abad ke-9 itu. (Ahmad Arif, 2020: 23).
Dalam konteks NTT, sorgum memiliki beragam nama daerah, antara lain: Flores (wata belolong, wata solor, lolo), Sumba (watar hamu, watar willi), Lembata (watar holo), Timor (batar ainaruk, penmina, penbuka), Rote (pele hae, pela hik), dan Sabu (terae hawu).
Jejak kultural dan ragam nama daerah ini menandaskan eksistensi sorgum sebagai benih warisan para leluhur. Sayangnya hingga saat ini sorgum kurang diusahakan dan dimaksimalkan potensinya.
Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus dipanggil untuk menggalakkan sorgum. Apalagi sorgum merupakan pangan lokal dengan segudang manfaat, khususnya bagi wilayah NTT.
Segudang Manfaat Sorgum bagi NTT
Sorgum merupakan jenis tanaman yang mampu bertumbuh di lahan marginal dan minim hujan. Sorgum memiliki sistem akar yang dua kali lebih baik dari jagung, sehingga mampu menjangkau dan menyerap air lebih banyak.
Dalam penanamannya kebutuhan akan air pada sorgum lebih rendah dibanding padi dan jagung. Penanaman sorgum di penghujung musim hujan juga bukan persoalan. Apalagi kemampuannya untuk ratun (tumbuh kembali setelah dipangkas) menjadikan sorgum dapat dipanen beberapa kali.
Tentu keunggulan ini amat bermanfaat bagi para petani ladang kering di NTT. Salah satu contoh nyata penanaman sorgum dapat dilihat di Dusun Likotuden. Walau dusun ini termasuk dalam tiga kecamatan yang panas ekstrem dan rendah curah hujan, di Kabupaten Flores Timur, sorgum mampu bertumbuh subur.
Penanaman sorgum di Likotuden ini tidak lepas dari dukungan KEHATI dan YASPENSEL, mitra lokal. Sudah sepatutnya juga Likotuden menjadi model pengembangan sorgum bagi wilayah lain di NTT.
Selain cocok secara agroklimatologis, sorgum juga bermanfaat di bidang kesehatan. Sorgum amat direkomendasikan karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Sorgum mengandung karbohidrat kompleks , kaya akan gizi mikro, serta protein yang hampir sama dengan biji-bijian lainnya. Keunggulan ini amat berdampak bagi masyarakat NTT, khususnya dalam menangani stunting.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tentang prevalensi stunting tahun 2022. Hasilnya provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menduduki posisi pertama dengan angka 35,5 persen (detikbali.com, 28/01/23).
Stunting menjadi problem tahunan di NTT. Data di atas memaparkan pada tahun 2022 NTT menempati posisi satu dalam kasus stunting nasional.
Oleh karena itu, pemberian sorgum sebagai tambahan nutrisi bagi balita dan anak-anak patut menjadi terobosan di desa-desa di NTT. Dengan pemanfaatan pangan sorgum kita mampu meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
Adapun sorgum juga bermanfaat dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kondisi alam NTT yang gersang dan tandus menjadi tantangan dalam urusan hortikultura. Namun, kehadiran sorgum dapat menjadi mata pencaharian bagi para petani ladang kering.
Sorgum juga dapat diolah ke dalam beragam produk. Biji-bijiannya dapat menjadi nasi, bubur sorgum, pop gum, sereal, tepung kue, dan sejenisnya. Sorgum jenis tertentu dapat diolah batangnya sebagai bahan baku bioetanol.
Adanya peluang sorgum pada sisi ini tentu menjadi hal baik bagi petani lokal dan pelaku usaha kreatif. Di samping itu, diadakannya festival nasional atau lokal, seperti Festival Golo Koe 2023, dapat menjadi wadah promosi bagi komunitas atau UKM yang memasarkan sorgum.
Urgensi Sorgum sebagai Kunci Ketahanan Pangan NTT
Setelah melihat berbagai manfaat di atas, betapa sorgum memiliki peran urgen dalam menjawab persoalan pangan di NTT. Urgensi ini menandakan sorgum sebagai kunci emas ketahanan pangan NTT. Dengan adanya pemanfaatan sorgum, akan membuka banyak potensi dan peluang demi terwujudnya sistem pangan yang berkelanjutan.
Peran yang urgen dari sorgum menekankan tanggung jawab dan partisipasi semua orang. Oleh karena itu, kita semua dipanggil untuk sama-sama terlibat dalam menggiatkan sorgum di NTT.
Semua elemen mesti bekerja sama dan berkolaborasi, baik pemerintah, para petani, pelaku usaha, dan komunitas kaum muda. Secara khusus komunitas kaum muda yang menjadi pionir di wilayah basisnya. Sebab komunitas kaum muda yang mengusung spirit pangan lokal mampu menyuarakan urgensi sorgum dengan cara kreatif dan inovatif di era digital.
Sudah saatnya kita aktif menggiatkan sorgum, pangan lokal warisan leluhur, demi tercapainya ketahanan pangan yang bermutu dan berkelanjutan. Kita tak harus selalu menggantungkan diri pada nasi, tetapi mesti memprioritaskan sorgum dan aneka pangan lokal lainnya di nusantara.
Referensi:
Arif, Ahmad. Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2020.
https://wri-indonesia.org/id/wawasan/menghidupkan-kembali-pangan-lokal-mewujudkan-sistem-pangan-yang-berkelanjutan, diakses pada 27 Agustus 2023.
https://www.detik.com/bali/nusra/d-6539377/ntt-juara-pertama-stunting-balita-kerdil-355-persen#:~:text=Kementerian%20Kesehatan%20(Kemenkes)%20mengumumkan%20hasil,dengan%20angka%2035%2C5%20persen, diakses pada 30 Agustus 2023.
#keanekaragamanhayati #adaptasiperubahaniklim #panganlokal #festivalgolokoe
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
Article