Menata Regulasi Kelautan, Tantangan Pertama Prabowo di Sektor Maritim

Marine
Menata Regulasi Kelautan, Tantangan Pertama Prabowo di Sektor Maritim
15 November 2024
12

(Sumber Foto : RRI.co.id)

Salah satu tantangan besar Pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka adalah tata kelola kelautan. Di sana terkandung berkah kekayaan alam terbesar negeri ini. Namun, problem regulasi dan tumpang tindih kewenangan masih jadi masalah besar yang mendesak dituntaskan.

 

Merentang seluas lebih kurang 6,4 juta kilometer persegi, lautan Indonesia menyimpan lebih dari 8.500 jenis biota, 12 juta ton per tahun potensi produksi perikanan berkelanjutan, lebih dari 50 juta ton per tahun produksi akuakultur, 45 persen lalu lintas arus perdagangan barang dunia, potensi karbon biru, dan potensi pertambangan.

 

Potensi kelautan yang sangat besar tersebut belum dikelola secara optimal. Kontribusi sektor maritim terhadap produk domestik bruto (PDB) baru sekitar 7,6 persen (Bappenas, 2024). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 kontribusi sektor maritim ditargetkan naik dari 7,6 persen menjadi 15 persen pada tahun 2045.

 

Di sisi lain, kawasan laut kita mengalami ancaman yang kian hebat. Mulai dari tekanan aktivitas manusia (terutama kerusakan ekosistem mangrove); dampak perubahan iklim; IUU (illegal, unreported, unregulated) dan overfishing, hingga polusi laut.

Artinya, dengan ancaman yang semakin berat itu, tercapaianya target RPJPN 2025-2045 akan sangat tergantung bagaimana kita dapat mengembangkan tata kelola laut secara lestari.

 

Sayangnya, justru di situlah permasalahan kita hari ini. Mengacu pada Indeks Keamanan Maritim Stable Seas  (The Stable Seas Maritime Security Index atau SSMSI) yang dirilis One Earth Future (OEF) 2021 lalu, tata kelola maritim kita masih tergolong memprihatinkan.

 

Ada sembilan komponen yang dinilai dalam Indeks SSMS tersebut, yaitu kerja sama internasional, aturan hukum, penegakan hukum maritim, kesejahteraan pesisir, ekonomi biru, perikanan, pembajakan dan perampokan bersenjata di laut, perdagangan ilegal, dan migrasi campuran maritim.

Berdasarkan Indeks SSMS tersebut, Indonesia hanya menduduki peringkat 44 dari 72 negara, dengan skor rata-rata 58 (dari skala 100). Peringkat Indonesia masih di bawah negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Vietnam, Thailand, Singapura, Kamboja, Brunei, bahkan Timor Leste. Peringkat kita juga lebih rendah dibanding negara-negara kontinental, seperti India, Bangladesh, Nigeria, Pakistan, dan lain sebagainya.

 

Dari 9 komponen yang dinilai, Indonesia hanya unggul pada komponen kerja sama Internasional, dengan nilai 89. Selebihnya, skor yang didapatkan Indonesia berada di bawah 70, bahkan, untuk komponen penegakan hukum dan kesejahteraan pesisir, nilai Indonesia di bawah 58.

Pelelangan Ikan dari Perikanan Tangkap Nelayan (Sumber Foto: Dinas Perikanan Tanjung Jabung Timur)

UU Kelautan

 

Buruknya skor penegakan hukum dan kesejahteraan pesisir tersebut tak lepas dari problem regulasi dan tumpang tindih kewenangan tata kelola laut kita.

 

Seperti diketahui, perundang-undangan utama yang menjadi dasar tata kelola kelautan di Indonesia adalah Undang-Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. UU ini sesungguhnya telah mengatur sembilan komponen penting tata kelola laut lestari seperti tertuang dalam Indeks SSMS tersebut  Namun, seiring perkembangan dan dinamika di sektor ini, UU tersebut membutuhkan perubahan.

 

Terdapat tiga alasan yang mendasari perlunya perubahan. Pertama, diperlukannya penguatan terhadap lembaga penegak hukum di wilayah laut Indonesia.

 

Saat ini, ada tujuh lembaga yang memiliki kewenangan penegak hukum di wilayahnya, yaitu TNI AL, Polair, Direktur Jenderal (Ditjen) Perhubungan Laut,  Ditjen Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP); dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Pemberian kewenangan pada 7 lembaga tersebut didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berbeda, seperti UU Kepabeanan, UU Perikanan, UU Pelayaran, UU TNI, dan UU POLRI.

 

Akibatnya, tiap lembaga memiliki penafsiran yang berbeda terhadap peraturan perundang-undangan tersebut sehingga terjadi tumpang tindih tugas pokok dan fungsi antarlembaga. Tiap lembaga pun tidak dapat mengukur sejauh mana batasan tanggung jawab yang dimiliki, sehingga, pada praktiknya, menimbulkan gesekan-gesekan antarlembaga.

 

Kedua, diperlukannya penyelarasan substansi UU Kelautan dengan perkembangan hukum nasional dan internasional. Dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir, terdapat beberapa produk hukum yang berkenaan dengan tata kelola laut dan ekosistemnya yang baru disahkan, baik pada dimensi nasional maupun internasional.

 

Pada dimensi nasional, pemerintah telah mengesahkan UU Cipta Kerja (UUCK) pada 2022 dan UU 32 tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) pada 9 Juli 2024. Perubahan UU Kelautan diharapkan dapat kembali menegaskan peranan penting semangat keberlanjutan lingkungan dalam penyelenggaraan kelautan Indonesia – suatu hal yang dikesampingkan dalam UUCK.

 

Pada dimensi internasional, Indonesia turut menandatangani Perjanjian Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ) dan Protokol Nagoya. Kedua perjanjian tersebut mengatur mengenai sumber daya genetik (marine genetic resources) – suatu hal yang belum diatur dalam UU Kelautan.

 

Ketiga, diperlukannya penyelarasan substansi UU Kelautan dengan komitmen global Indonesia dalam bidang kelautan, seperti pengembangan ekonomi biru dan 30-by-30. Konsep ekonomi biru sebenarnya telah diakui dalam UU Kelautan. Namun, pengaturannya masih bersifat surface-level, sehingga diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai pengimplementasiannya.

 

Pada Maret 2023, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI telah mengajukan inisiatif usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan UU Kelautan ke pemerintah. Sejumlah kementerian terkait juga telah bersama-sama merumuskan drafnya. Namun, hingga masa Pemerintahan Periode 2019-2024 berakhir, pembahasan atas UU ini belum kunjung kelar.

 

Berdasarkan draf terakhir yang dibahas antara pemerintah dan DPR, ada lima materi pokok dalam draf RUU Kelautan yang baru, yaitu penguatan dan integrasi Bakamla (dalam benuk Indonesian Coast Guard); sinergi dengan hukum internasional dan penguatan hubungan internasional bidang kelautan; neraca sumber daya laut, perluasan kawasan konservasi, dan pelestarian lingkungan laut; dan sistem logistik ikan nasional, industri dan jasa maritim, kepelabuhanan; serta energi baru terbarukan, pulau kecil, data dan informasi kelautan, dan pemanfaatan di laut menetap.

 

Akan tetapi, masih terdapat isu-isu penting yang belum terakomodasi, seperti: penguatan lembaga penegak hukum di luar Bakamla; tindak pidana di laut; kawasan preservasi; framework kerja sama internasional dalam pemanfataan kawasan di luar yurisdiksi nasional; perlindungan kawasan hutan mangrove; dan pangan biru.

 

Namun, UU Kelautan hanyalah satu hal. Implementasi UU ini memerlukan singkronisasi lebih lanjut dengan aturan perundang-undangan lain agar efektif dan tidak tumpang tindih. Setidaknya ada lima langkah singkronisasi yang perlu dilakukan.

 

Pertama, meratifikasi perjanjian BBNJ sebelum RUU Kelautan disahkan sebagai UU. Kedua, mengatur lebih lanjut mengenai hak-hak masyarakat adat pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam RUU Masyarakat Adat dan pengesahan segera RUU tersebut.

 

Ketiga, merevisi UUCK, khususnya terkait sanksi kurungan pada tindak pidana di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif  karena bertentangan dengan prinsip UNCLOS. Keempat, mengesahkan segera RUU Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Genetik. Kelima, mengatur lebih lanjut terkait perlindungan sumber daya genetik dalam RUU Perlindungan Sumber Daya Genetik.

 

Menata regulasi inilah yang harus menjadi fokus pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membangun tata kelola laut kita yang kaya. Jika tidak, hingga lima tahun ke depan kita akan berkutat pada masalah yang sama.

Nelayan, Perikanan, Tata Kelola Perundangan
About Author
Muhamad Burhanudin dan Ardelia Clarissa Noensie
Spesialis Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI ; Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada

Yayasan KEHATI ; Universitas Gadjah Mada

Terms and Conditions

  1. Contains only topics related to biodiversity and the environment
  2. Writing length 5,000-6,000 characters
  3. No plagiarism
  4. The article has never been published in the media and on other sites
  5. Include name, title, and organization
  6. Attach a photo of yourself and a brief biography
  7. Attach supporting photos (if any)
  8. Sending writings to [email protected]
  9. If it will be loaded, the admin will contact the author to inform the loading date

Leave a Reply

Leave a Reply