Kali Oya
Aliran Sungai Oya yang airnya nampak putih keruh akhir Desember siang itu menjamu saya yang sudah lima tahun tidak lagi menyentuh atmosfer Pegunungan Sewu dengan salah satu lembahnya yang menjadi lintasan bagi sungai ini. Sekilas, palung sungai terlihat berbentuk U lebar namun berdinding dalam dengan dasar bebatuan yang beberapa secara kasat mata terlihat berlapis akibat endapan sedimen ribuan hingga ratus ribu tahun yang lalu. “Ah tempat ini masih jauh dari pantai,” pikir saya. Aliran sungai itu terlihat damai meskipun beberapa hari terakhir hujan deras membuat saya dan teman-teman menjadi was-was, cukup beresiko untuk masuk ke gua nantinya.
Pandangan ini saya lemparkan jauh-jauh ke arah kiri sepanjang jalan menuju Kapanewon Ponjong, maklum tempat duduk saya dalam minibus ini berada mepet paling kiri. Penglihatan saya menangkap sisa bayangan lanskap Pegunungan Baturagung di sisi utara Gunungkidul dengan sawah yang membentang sejauh mata memandang dan aliran sungai irigasi yang cukup deras di tepiannya. Pemandangan ini semakin mematahkan imajinasi saya yang muncul saat SMA bahwa seluruh permukaan Gunungkidul adalah tanah kapur yang tandus dan susah ditanami tumbuhan.
Saat tiba di pusat Kapanewon Ponjong, kami mendapati bahwa daerah tersebut memiliki sumber air permukaan yang berlimpah. Sawah hijau yang terhampar luas, aliran air irigasi yang lancar dengan pepohonan besar yang tumbuh subur di sekitarnya, cukup untuk saya dapat menarik kesimpulan bahwa daerah ini selalu memiliki pasokan air permukaan yang cukup bahkan di musim kemarau, baik untuk pertanian juga untuk kegiatan sehari-hari. Benar saja, saat mengobrol sedikit di hari selanjutnya dengan masyarakat setempat, dapat kami ketahui daerah ini memang dialiri irigasi yang bersumber dari Sungai Gesing dan Mata Air Beton (Waduk Beton) yang tidak mengering saat musim kemarau tiba.
Selain itu, sejumlah titik mata air juga dapat secara mudah ditemui mengingat Desa Ponjong menjadi salah satu bagian sub-sistem dari Karst Gunung Sewu yang memiliki kekhasan berupa dapat ditemuinya sejumlah mata air sepanjang garis patahan sesar yang memisahkan daerah karst yang berupa bentanglahan solusional hasil metamorfosis terumbu karang dengan sisi timur Cekungan Wonosari yang berupa bentanglahan struktural akibat terjadinya proses pengangkatan yang disebabkan oleh adanya subduksi lempeng Samudera Hindia di bawah . Karst Gunung Sewu sendiri sebenarnya terbagi menjadi 5 unit hidrogeologi yang antara lain (1) Sub-sistem Panggang; (2) Sub-sistem Bribin-Baron-Seropan; (3) Sub-sistem Ponjong; (4) Sub-sistem Pracimantoro; dan (5) Sub-sistem Donorojo Pringkuku.
Ponjong, tempat yang kami tinggali saat berada di Kabupaten Gunungkidul, merupakan bagian dari bentuklahan lembah karst yakni Polje Ponjong yang secara geologis berada diantara Pegunungan Baturagung di bagian utara, Pegunungan Sewu membentang di bagian timur dan selatan, kemudian Gunung Api Purba Nglanggeran di bagian barat. Kondisi geologi di Kecamatan Ponjong cukup beragam yang terdiri dari formasi aluvium yang tersusun atas endapan fluvial akibat adanya endapan material sungai permukaan yang terbawa masuk melalui sistem aliran bawah tanah; formasi wonosari yang tersusun dari reef, batu gamping kristalin, batu gamping koral terumbu, dan batu gamping lempungan; Formasi Oya dengan litologi penyusun yakni tufa andesit; dan Formasi Semilir yang tidak termasuk ke dalam kawasan karst. Secara kasat mata, wilayah pusat kota di Kecamatan Ponjong relatif datar namun berbukit saat kami mulai menjelajah sisi utara Ponjong.
Berbicara mengenai penjelajahan, selama tiga hari pertama di Ponjong, kami melakukan penjelajahan kecil-kecilan yang sebenarnya lebih cocok untuk disebut sebagai “survei lokasi”. Saya dan tiga teman lain mendatangi beberapa lokasi yang telah direncanakan oleh kami dan pendamping lapang. Lokasi tersebut antara lain yakni Gua Lawa, Gua Cokro, dan Gua Nggremeng. Sepanjang jalan menuju lokasi, sebenarnya dengan mudah kami melihat beberapa mulut gua yang terlihat kecil di kaki gunung-gunung batu yang tersingkap. Namun kami tetap melanjutkan perjalanan menuju gua yang telah direncanakan.
Gua Lawa menjadi tujuan pertama kami pada hari itu. Jalan yang cukup licin dan berlumpur membuat kami agak kesulitan saat mengendarai motor kami menuju lokasi. Namun sesampainya lokasi tersebut, bukannya saya langsung mencari keberadaan mulut gua, saya justru salah fokus dan berjalan menuju cekungan tanah luas penuh air yang berada di seberang saya. Ya, sebuah dolin berbentuk mangkuk seukuran empat lapangan bola membentang luas dengan ladang jagung dan singkong di tepiannya. Dolin merupakan suatu cekungan yang terdapat di lahan karst akibat suatu pelarutan. Saya yakin bahwa dolin yang berada di hadapan saya saat itu telah tersumbat ponornya oleh endapan tanah sehingga air menjadi tertampung dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian di sekitarnya. Ah, saya dan teman-teman terlalu lama mengamati dolin hingga hampir lupa untuk mencari mulut Gua Lawa. Saat berjalan, kami bertemu dengan warga setempat yang tengah memikul karung sambil berjalan menuruni bukit yang berada kurang lebih 300 meter di seberang dolin.
Dolin Lawa (Dokumentasi pribadi, 2023)
“Nyuwun ngapunten, simbah. Badhe nyuwun pirsa, Gua Lawa niku ten pundi nggih mbah?”. Mohon maaf simbah, mau tanya, Gua Lawa itu dimana ya mbah? Kurang lebih seperti itu hal yang saya tanyakan saat kami telah berdiri di dekat salah satu warga yang sudah selesai menuruni bukit itu dengan Bahasa jawa campur-campur, ya bahasa krama inggil, tapi juga nyampur dengan bahasa ngoko. Beliau yang kami panggil “simbah” tersebut menjawab. “Itu nduk, di atas, naik aja tanjakan ini, nanti juga ketemu,” jawab beliau sambal membenahi jariknya yang tampak mengendur. “Tapi jangan masuk ya, sekarang sudah dikeruki tanahnya, jadinya dalam, bahaya.”
Kami mengiyakan himbauan tersebut, berterima kasih, kemudian melanjutkan jalan kaki menuju mulut Gua Lawa. Dalam pikiran saya, mulut gua mungkin tidak akan terlalu besar. Namun batinan saya ternyata salah. Saat kami berjalan, semacam tiba-tiba saja mulut gua setinggi 20 m dengan lebar sekitar 40 m tersaji di depan mata saya. “Hah?” batin saya yang kok ya serempak dengan mulut saya yang menganga. Entah apakah karena pikiran saya yang terlalu imajinatif, atau karena saya yang terlalu banyak menonton film kartun, saya malah teringat pada salah episode Spongebob yakni “Alaskan Bull Worm” dimana Spongebob dan Sandy Cheeks sedang memburu cacing besar Alaska dan hendak memasuki lubang yang mereka kira adalah sebuah gua, namun justru mulut gua yang mereka masuki ternyata mulut dari cacing yang mereka cari. Saya bergidik ngeri saat mengingatnya dan mencoba berfokus kembali mengamati mulut gua dari luar.
Mulut Gua Lawa (Dokumentasi pribadi, 2023)
Stalaktit aktif terlihat terus meneteskan air dari langit-langit gua, kemudian dasar guanya terlihat beberapa karung tanah yang telah dikeruk karena kaya akan fosfor dan guano yang bagus untuk dijadikan sebagai pupuk pertanian. Beberapa kali saya menemukan beberapa ekor kongkang kolam (Chalcorana chalconota) melompat tiap kali kaki ini ditapakkan ke bebatuan bercelah. Jika diamati lebih lanjut, permukaan atas gua rupanya juga menjadi mulut gua secara vertikal. Seberkas cahaya menyinari sisi dalam gua melewati lubang tersebut. Sejenak saya terkagum dan melupakan aroma busuk kotoran kelelawar yang menguar sejak pertama kali mencapai mulut gua.
Tujuan kami selanjutnya yakni Gua Cokro. Mencari Gua Cokro memang mudah-mudah-susah. Mudahnya yakni selain kami dapat mencarinya via Google apps, pihak kelompok sadar wisata (pokdarwis) setempat nampaknya juga sudah menyadari jika gua tersebut memiliki potensi wisata, sehingga papan penunjuk arah telah tersedia. Susahnya ada di medan jalannya, menanjak, stapak lapis dua, dan berbatu. Terbilang kurang ramah bagi saya yang masih nervousan selagi naik kendaraan roda dua. Motor yang saya dan salah satu teman saya naiki hampir saja berbalik mundur ke belakang, tidak kuat buat menarik gasnya.
Sesampainya kami di depan papan informasi Gua Cokro, kami justru bingung mencari dimana mulut gua ini sebenarnya. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya kami menemukan mulut gua tersebut. Berbeda dengan yang saya ekspetasikan yakni akan seperti Gua Lawa yang bermulut lebar dan dengan gua berbentuk horizontal, Gua Cokro ini justru bermulut sempit dan mirip seperti sumur yakni silindris vertikal dengan diameter mulut gua kurang dari 2 meter. Mulut gua ini telah ditutup dengan besi kotak-kotak tebal, tujuannya agar tidak sembarang orang dapat memasuki gua ini secara bebas. Saya tidak dapat melihat ada apa di dalam sana, namun dasar gua sedalam kurang lebih 12 meter terlihat berkilauan memantulkan berkas cahaya matahari yang tersorot tegak ke bawah sana, gua ini penuh dengan air, pikir saya. Sekeliling gua dipenuhi oleh batu berpori lebar bak sarang semut.
Mulut Gua Cokro
Hal yang menarik selanjutnya saya temukan di Gua Nggremeng. Bukan hanya karena gua ini menjadi pintu keluar dari sungai bawah tanah, namun karena garis-garis horizontal yang samar-samar terlihat di dinding gua. Hal serupa juga ditemukan saat kami bersama-sama belajar melakukan pemetaan Gua Parang Garuda. Stasiun 15 menuju 16 memiliki dinding dengan garis horizontal yang lebih jelas daripada yang telah saya temui di Gua Nggremeng. Beruntung, saya hanya berada 3 meter di depan pendamping lapang sekaligus pemateri kami, Mas Arief dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, jadi saya tidak perlu menyimpan pertanyaan saya yang kemungkinan akan terlupa saat telah kembali keluar dari gua. “Mas itu ada corak garis-garis horizontal berbeda warna, apakah prinsipnya sama dengan lingkaran umur pada batang pohon?” Ya, jawab beliau. Setiap lapis garis yang sewarna menandakan bahwa lapisan tersebut terbentuk oleh endapan di zaman yang sama, ratusan atau bahkan jutaan tahun lalu. Saya mengangguk sebagai tanda telah memahami konsep tersebut. Ah tua sekali gua ini, batinku.
Garis- garis horizontal di dinding Gua Nggremeng
Perjalanan saya dan tim Rontepo ini membuat saya menyadari bahwa Tuhan menganugerahi bumi ini dengan ciri khas di setiap tempatnya agar kita sebagai umat manusia dapat mempelajari dan menjaganya. Mempelajari sebagian kecil dari bentuklahan solusional di Gunugkidul tidak menjadikan saya dan tim Rontepo cepat berpuas diri. Kami terus berusaha untuk menggali ilmu dan mengevaluasi diri agar menjadi lebih baik sehingga mampu menerapkan keilmuan yang kami miliki demi kebaikan alam dan manusia di sekitarnya sebagai bentuk rasa syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
Article