Pemanfaatan pekarangan, berbagi jasa ekosistem untuk semua

Aktivitas, Perubahan Iklim, Satwa
Pemanfaatan pekarangan, berbagi jasa ekosistem untuk semua
17 Juni 2022
967

Kejora, 8 tahun, sedang mencoba mengamati kupu-kupu yang sedang mengunjungi sepetak halaman belakang rumahnya di daerah Ragunan.  Tak banyak tanaman di halamannya kecuali sebatang pohon jambu bol yang masih setinggi jendela rumahnya, anakan pohon papaya, serta beberapa pot tanaman hias.  Namun pagi itu, seekor kupu-kupu jeruk (Papilio demoleus) berkenan singgah sebentar yang membuat Kejora begitu gembira.

 

Gambar 1. Kejora sedang mengamati kupu-kupu di rumahnya

 

Begitulah, biodiversitas perkotaan sangatlah terbatas. Seputaran Jabodetabek, mungkin dapat dihitung, siapa yang pernah melihat musang pandan (Paradoxorus hermaphroditus) di halaman rumahnya.  Atau mungkin bajing, hingga yang lebih mudah dilihat, yaitu burung dan berbagai serangga, termasuk lebah dan kupu-kupu. Apalagi jika lahan yang tersedia semakin sempit dan tanpa tanaman. Akibatnya kota juga semakin gerah. Kawasan urban seperti perkotaan seringkali mengalami urban heat island effect, yaitu fenomena peningkatan suhu akibat makin luasnya permukaan yang dapat menyerap panas seperti bangunan dan jalan.  Suhu yang terasa makin panas, hujan dan banjir yang semakin tak terduga, hingga kemarau berkepanjangan adalah deretan keluhan yang kerap keluar dari penduduk kota.  Jumlah penduduk yang semakin meningkat serta lahan alami yang semakin sempit, membuat dampak perubahan iklim makin terasa.  Itulah tanda-tanda jasa lingkungan juga semakin berkurang.

 

Usaha-usaha mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kerap berfokus pada tekanan deforestasi yang jauh dari lingkungan perkotaan sehingga seringkali luput menjadi perhatian masyarakat perkotaan.  Yah…deforestasi kan hanya terjadi di dekat hutan.  Ah, kita kan tidak ikut andil dalam penggundulan hutan.  Padahal masyarakat perkotaan juga mengalami dampak perubahan iklim serta punya andil yang sama dalam mengatasi perubahan iklim.  Pun, tak perlu sulit-sulit.  Jadikan saja halaman rumah sekecil dan seluas apapun menjadi penyumbang jasa lingkungan.  Apa ya maksudnya?

 

Pandemi COVID-19 yang terjadi dua tahun belakangan ini sebenarnya telah membawa gelombang baru penurunan aktivitas manusia, namun juga membawa gelombang cinta ke halaman rumah. Ya betul, tanaman gelombang cinta (Anthurium plowmanii) hanya sekedar ilustrasi bahwa pandemi meningkatkan semangat berkebun terutama pada kaum perempuan.  Tercatat beberapa jenis tanaman yang meningkat peminatnya dengan harga melambung drastis seperti jenis-jenis-jenis Monstera, Philodendron, Aglaonema, dan sebagainya.  Sebagian lainnya mungkin memilih bertanam sayur-sayuran dan buah-buahan, yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi.  Mengurangi beban belanja juga.  Inilah gelombang yang menuju perbaikan jasa lingkungan.

 

Jasa lingkungan kawasan urban

 

Jasa lingkungan merupakan manfaat yang diterima manusia dari suatu fungsi ekosistem baik secara langsung maupun tidak langsung.  Jasa lingkungan ini dapat berupa jasa penyediaan (provisioning), jasa pendukung (supporting), jasa pengaturan (regulation), serta jasa kultural (cultural).  Namun pertanyaannya, mampukah kawasan urban perkotaan menyediakan jasa lingkungan yang cukup bagi penghuninya? Apakah indikatornya?

 

Dengan lahan tersisa yang semakin sempit di perkotaan, ekosistem kawasan urban yang tersisa adalah pepohonan tepi jalan, halaman/taman, hutan kota, lahan budi daya, lahan basah (wetlands), danau/laut, serta sungai.  Jasa lingkungan di perkotaan memang tidak terlalu menjanjikan dibanding ekosistem alami seperti hutan.  Namun, jasa lingkungan seperti kemampuan filtering dari tanaman perkotaan yang menyaring polusi udara dan suara, regulasi iklim mikro, drainase air hujan, serta nilai kultural seperti hiburan dan rekreasi seharusnya masih dapat diperoleh.  Besarannya tentu saja sangat tergantung dari luasan ekosistem yang tersedia.  Di perkotaan dengan ruang terbuka hijau yang juga lebih minim dibanding kawasan rural, maka kualitas lingkungan akan cenderung lebih rendah sehingga manfaat yang diterima manusia juga lebih rendah.

 

Satu hal yang mampu menjawab kebutuhan jasa lingkungan kawasan urban adalah vegetasi.  Kawasan yang bervegetasi akan membantu melakukan filter polusi udara dan suara, perakaran dan tanahnya mampu membantu menyerap air hujan dan melancarkan siklus air melalui evapotranspirasi, serta memperbaiki kesuburan tanah. Konon, daerah yang tanpa vegetasi menyebabkan 60% air hujan tidak terserap sementara daerah yang bervegetasi dapat mengurangi hingga hanya 5-15% yang tidak terserap.

 

Pekarangan sebagai sumber jasa lingkungan

 

Pekarangan rasanya menjadi satu kata yang hampir punah karena jarang sekali terdengar di masa sekarang ini.  Padahal, menurut Otto Soemarwoto (1987), pekarangan adalah ciri khas halaman rumah di Indonesia yang merupakan gabungan berbagai tanaman mulai dari tanaman berbunga, empon-empon, hingga pohon buah.  Semakin jauh dari perkotaan, sifat pekarangan ini pun menjadi lebih kompleks.  Berbagai tanaman ini dengan sendirinya mendatangkan satwa pula seperti burung yang dapat menyebarkan biji hingga satwa polinator (penyerbuk) seperti lebah dan kupu-kupu yang membantu penyerbukan bunga menjadi buah.  Seperti yang dicatat kupukita.org, setidaknya ada 50 jenis kupu-kupu di seputaran Jabodetabek.  Kupu-kupu, bahkan termasuk yang dapat melakukan lintas habitat, terbang melewati jalan-jalan ramai perkotaan.  Sekecil apapun pekarangan kita, selama ada tanaman berbunga atau tanaman yang dapat menjadi inangnya, kupu-kupu akan singgah.

 

Gambar 2. Kupu-kupu telur (Hypolimnas bolina) yang cukup umum di perkotaan

 

Dengan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan, pekarangan atau halaman rumah dapat menjadi solusi untuk memperkuat jaringan RTH yang ada.  Jejaring ini akan menjadi jejaring ekologi (ecological networks) yang memastikan fungsi ekologi dan jasa ekosistem tersebar pada berbagai kawasan di perkotaan.  Pekarangan dengan keragaman fungsional yang tinggi unggul dalam jasa ekosistem.  Ini artinya halaman dengan beragam tanaman, yang dapat dimanfaatkan beragam satwa tentunya lebih banyak menyediakan jasa ekosistem. Dengan demikian, pemanfaatan pekarangan berkontribusi terhadap pemanfaatan lahan berkelanjutan, ketahanan pangan, pendapatan tambahan bagi penghuninya hingga penyerapan karbon. Jadi, tunggu apa lagi? Mari bertanam!

Tentang Penulis
Nurul L. Winarni
Research Center for Climate Change

Universitas Indonesia

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *