Menyelamatkan Yang Sudah Sedikit, Menjaga Yang Masih Banyak

Flora, Kehutanan, Satwa
Menyelamatkan Yang Sudah Sedikit, Menjaga Yang Masih Banyak
2 Desember 2021
1334

Berbagai usaha telah dilakukan oleh banyak pihak, baik oleh ilmuwan, pemerintah, dan masyarakat umum untuk melindungi makhluk hidup beserta lingkungan hidupnya. Salah satunya adalah upaya penyadartahuan melalui kampanye, dalam bentuk hari-hari peringatan. Dari berbagai hari peringatan yang terkait isu lingkungan hidup, salah satunya adalah Hari Konservasi Satwa Liar Sedunia (World Wildlife Conservation Day) yang diperingati setiap tanggal 4 Desember. Hari peringatan tersebut adalah inisiatif Hillary Clinton, saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri untuk masa jabatan pertama Presiden Barack Obama. Hillary, yang berbicara pada Seminar Departemen Luar Negeri tentang Perdagangan dan Konservasi Satwa Liar pada 8 November 2012, mengatakan bahwa salah satu masalah dunia saat ini adalah perdagangan satwa liar.

 

Secara singkat, penetapan Hari Konservasi Satwa Liar Sedunia bertujuan untuk meningkatkan rasa kesadaran dan keterlibatan tentang spesies yang terancam punah atau di bawah ancaman kepunahan karena perburuan, perdagangan dan faktor lingkungan lainnya. Konservasi satwa liar sendiri adalah tindakan melindungi spesies yang terancam punah dan hampir punah dengan melestarikan habitat aslinya.

 

Sebenarnya bagaimana situasi keterancaman satwa liar di dunia saat ini, sehingga perlu menjadi perhatian semua pihak? Mari kita rujuk data dari IUCN, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Melalui IUCN Red List, yang berisi informasi tentang status risiko kepunahan global spesies hewan, jamur dan tumbuhan. Data terkini menunjukkan, paling tidak, ada sebanyak 26% spesies mamalia, 14% burung, 41%, amfibi, 37% hiu dan pari, 33% terumbu karang, dan 34% konifer, yang memiliki resiko kepunahan. Namun ada satu hal yang perlu diingat, angka itupun baru mencakup enam kelompok, dan baru 28% spesies yang dievaluasi. Masih ada jutaan spesies lain yang belum terevaluasi dengan cukup, dan sangat mungkin untuk menambah panjang daftar tersebut.

 

Bagaimana dengan kondisi hidupan liar di Indonesia sendiri? Berdasarkan data dari CBD (Convention on Biological Diversity), Indonesia menjadi salah satu dari 17 negara megadiverse, dengan 2 dari 25 “hotspot” dunia, 18 eco-region Global 200 World Wildlife Fund dan 24  endemic bird areas dari Bird Life International. Kekayaannya mencakup 10% spesies berbunga dunia (dengan estimasi 25.000 spesies, 55% endemik), sekitar 515 spesies mamalia (12% dunia) terdapat di Indonesia, menempati urutan kedua, setelah Brasil. Kemudian, 781 spesies reptil (16% dunia) dan 35 spesies primata menjadikan Indonesia di urutan keempat dunia. Selanjutnya, 1.592 spesies (17%) burung dan 270 spesies amfibi menempatkan Indonesia masing-masing pada peringkat kelima dan keenam di dunia. Suatu kekayaan keanekaragaman hayati yang cukup membanggakan.

 

Namun, disisi lain kebanggaan akan tingginya kekayaan biodiversitas tersebut juga diiringi dengan keprihatinan. Masih merujuk dari data IUCN Red List, diperoleh angka yang cukup besar untuk status konservasi hidupan liar di Indonesia. Terdapat sekitar 2.083 spesies dengan risiko kepunahan, dimana 1.020 spesies diantaranya berstatus endemik. Jika dilihat lebih lanjut, ada 1.085 spesies (52,1%) berstatus rentan (vulnerable), 640 spesies (30,7%) dengan status terancam (endangered), serta 358 spesies (17,2%) dalam kondisi kritis (critically endangered). Lebih rinci, dari 2.083 spesies tersebut, terdiri dari 856 spesies flora dan 1.225 spesies fauna. Pada fauna, ada 132 spesies mamalia, 108 spesies burung, 24 spesies amfibi, 19 spesies reptil, serta sisanya kelompok lain yang kondisinya terancam. Jika ditinjau dari segi habitatnya, terdapat sekitar 1.396 spesies (56,8%) terestrial, 449 spesies (18,3%) air tawar, dan 408 spesies (16,6%) laut.

 

Pertanyaan berikutnya adalah, setelah melihat banyaknya spesies yang memiliki risiko kepunahan, upaya konservasi apa yang sudah dilakukan oleh negara? Konservasi sendiri bisa dipandang dari dua sudut yang saling terkait, konservasi spesies dan konservasi habitat. Pemerintah sendiri sudah membuat produk-produk hukum yang terkait upaya konservasi, diantaranya diawali dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Serta yang terakhir, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, yang memuat daftar 904 spesies flora dan fauna dilindungi. Dari sisi habitat, sampai dengan tahun 2019 Indonesia telah memiliki 544 kawasan konservasi. Kawasan konservasi tersebut meliputi 212 unit cagar alam, 79 unit suaka margasatwa, 54 unit taman nasional, 133 unit taman wisata alam, 34 unit taman hutan raya, 11 unit taman buru, serta 31 unit kawasan suaka alam-kawasan pelestarian alam.

 

Jika ditarik kebelakang, produk-produk hukum konservasi sebenarnya bukan hal yang sama sekali baru. Semenjak era pemerintah kolonial Belanda, sudah ada dan menjadi dasar dari produk hukum saat ini. Misalnya, pada tahun 1910 telah diterbitkan Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels (Undang-Undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar). Ini merupakan peraturan perlindungan spesies pertama di wilayah Indonesia. Disusul pada tahun 1916 dikeluarkan Natuurmonumenten Ordonantie (Undang-Undang Monumen Alam/Cagar Alam) sebagai peraturan perlindungan kawasan yang pertama. Kemudian ada juga Ordonansi Perburuan 1931, Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar 1931, Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura 1940, Ordonansi Perlindungan Alam 1941. Meskipun demikian, upaya pemerintah untuk melakukan konservasi baik terhadap spesies maupun habitatnya tersebut tentunya harus mendapat apresiasi. Termasuk upaya lebih teknis, seperti upaya peningkatan populasi 25 spesies satwa terancam punah sebesar 10%. Kemudian juga pembuatan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi beberapa spesies.

 

Yang masih menjadi diskusi atau kadang perdebatan adalah, pada sisi konservasi spesies. Mengapa yang dipilih adalah pendekatan red list, dimana hanya sebagian spesies yang dilindungi, sedangkan sisanya tidak? Mengapa tidak memilih pendekatan green list, seluruh spesies yang ada semuanya dilindungi, kecuali beberapa spesies? Kembali pada pendekatan red list, dasar pertimbangan apa yang menjadi penentu pemilihan jenis-jenis dimasukkan atau dikeluarkan dalam daftar yang dilindungi? Misal diantaranya, pertimbangan jumlahnya dianggap masih banyak, meski keberadaannya di penangkaran atau eks-situ. Ini yang harus dipikirkan ulang, karena ekosistem itu tidak sekadar dipandang dari segi struktural saja. Asal spesies sebagai salah satu komponennya masih banyak, masih eksis dan tidak punah, maka dianggap selesai masalahnya. Ekosistem juga harus dipandang secara fungsional. Setiap spesies pasti memiliki fungsi dalam ekosistem, entah itu sudah diketahui oleh ilmu pengetahuan maupun belum. Tidaklah ilmiah, jika gara-gara kita belum tahu perannya dalam ekosistem, lalu boleh ditiadakan di habitat alamiahnya atau dipindahkan semua dalam kandang. Harusnya pada pendekatan optimis, tiap spesies pasti ada fungsinya. Bukan pendekatan pesimis, apa sih fungsi mereka di alam.

 

Pandangan pesimistis semacam itu akan lebih berbahaya jika dikombinasikan terhadap jenis-jenis yang saat ini masih banyak populasinya di alam. Jawaban-jawaban seperti, “spesies tersebut toh masih banyak di alam”, “spesies tersebut banyak sekali dan menjadi hama pengganggu”. Jika belum ada data dasar populasinya, belum diketahui bagaimana laju pertumbuhannya, demografinya, fungsinya, bagaimana bisa kita dengan gegabah memanfaatkan (kalau tidak mau disebut mengeksploitasi)? Apakah spesies yang populasinya melimpah dan tidak dilindungi, aman nasibnya?

 

Jangan sampai nasib Gelatik Jawa, Lonchura oryzivora, terulang terus pada spesies-spesies lain. Dahulu, burung ini populasinya melimpah ruah. Saking banyaknya kemudian banyak dianggap sebagai hama padi dan tidak dilindungi. Karenanya, kemudian banyak diburu, ditangkap, dieksploitasi. Kemudian pada masanya, populasinya turun cukup drastis dan hanya dijumpai di lokasi terbatas. Statusnya pun saat ini menjadi jenis terancam (endangered), serta dilindungi pemerintah.

 

Harimau Jawa, yang status konservasinya secara hukum sudah dianggap punah, juga mengalami nasib yang sama. Jika saat ini dalam hukum konservasi spesies hanya dikenal kategori dilindungi dan tidak dilindungi, maka pada era kolonial tidak hanya itu. Pada masa-masa ordonansinya pemerintah kolonial Belanda, status satwa dibagi menjadi jenis-jenis dilindungi (tidak boleh diburu); satwa elok, satwa migrasi, satwa pengganggu (boleh diburu dengan ketentuan). Nah, pada era itu harimau Jawa termasuk dalam satwa pengganggu, bersama dengan babi hutan dan kawan-kawan. Karenanya, perburuan harimau menjadi hal biasa, sementara kontrol status populasinya tidak jelas. Masifnya perburuan membuat khawatir Hoogerwerf, yang pada tahun 1952 menyatakan “akan sampai kapan kita nanti masih bisa menyaksikan harimau berkeliaran dan meninggalkan tapaknya di pinggir pantai Jawa”. Kekhawatiran itu pun akhirnya terbukti.

 

gelatik Jawa dan harimau Jawa adalah dua contoh saja. Masih ada spesies-spesies lain yang nasibnya serupa, Tidak menutup kemungkinan pula, jenis-jenis yang saat ini statusnya tidak dilindungi, jumlahnya masih banyak, tidak ada upaya untuk mengkaji biologi populasinya (karena tidak prioritas), ditambah eksploitasi yang tidak terkendali, akan penjadi penerus keduanya. Saat sudah terancam punah, baru heboh, baru disesali.

 

Sehingga sudah selayaknya kita lebih bijak. Jenis yang sudah terlanjur terancam, tetap kita tolong kehidupannya. Jenis yang saat ini masih banyak, tetap kita jaga eksistensinya. Kalau dalam dunia medis saja kita punya slogan, lebih baik mencegah daripada mengobati. Mengapa itu tidak kita terapkan dalam dunia konservasi?

Tentang Penulis
Dr. Karyadi Baskoro
Pemerhati biodiversitas dan guru Ekologi di Departemen Biologi, UNDIP

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Komentar (1)

  • Ahmad Rizky Mudzakir berkata:

    Trimakasih atas penyadartahuannya untuk tantangan konservasi di Indonesia. Saya setuju dan optimis dengan pendapat serta rancangan aksi bapak Karyadi Baskoro. Sudah selayaknya kita melindungi satwa green list, bukan menghiraukannya. Contoh yang diberikan telah nyata adanya, bahkan jenis2 green list pun mulai mengalami population decrease. Ini momok pak Baskoro untuk konservasi di Indonesia, lantas…apakah aturan tersebut selalu diterapkan oleh korporat yang sedang berinventasi atau membangun wisata dengan judul “memanfaatkan bentang alam”? Banyak korbannya, tidak hanya manusia…satwil kita yang menjadi korban utama karena pergurusan habitat yang tidak kunjung selesai. Harapan saya kita bisa membangun bersama rasa aware dengan sesama makhluk hidup, lantas manusia diutus bukan untuk mengambil semuanya, hanya untuk merawat toh pak.

    Sekali lagi terimakasih pak Baskoro atas penyadartahuannya untuk konservasi hayati di Indonesia.

Tinggalkan Balasan ke Ahmad Rizky Mudzakir Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  • Ahmad Rizky Mudzakir berkata:

    Trimakasih atas penyadartahuannya untuk tantangan konservasi di Indonesia. Saya setuju dan optimis dengan pendapat serta rancangan aksi bapak Karyadi Baskoro. Sudah selayaknya kita melindungi satwa green list, bukan menghiraukannya. Contoh yang diberikan telah nyata adanya, bahkan jenis2 green list pun mulai mengalami population decrease. Ini momok pak Baskoro untuk konservasi di Indonesia, lantas…apakah aturan tersebut selalu diterapkan oleh korporat yang sedang berinventasi atau membangun wisata dengan judul “memanfaatkan bentang alam”? Banyak korbannya, tidak hanya manusia…satwil kita yang menjadi korban utama karena pergurusan habitat yang tidak kunjung selesai. Harapan saya kita bisa membangun bersama rasa aware dengan sesama makhluk hidup, lantas manusia diutus bukan untuk mengambil semuanya, hanya untuk merawat toh pak.

    Sekali lagi terimakasih pak Baskoro atas penyadartahuannya untuk konservasi hayati di Indonesia.

Tinggalkan Balasan ke Ahmad Rizky Mudzakir Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *