Mitos Nasi sebagai Pelengkap Menu

Kehutanan, Pertanian
Mitos Nasi sebagai Pelengkap Menu
9 Mei 2022
678

Nasi adalah makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Beragam masakan khas Nusantara menyajikan nasi sebagai pelengkap lauk pauk. Ketika tinggal di Indonesia, banyak dari kita yang sudah mendengar pepatah, “Belum kenyang kalau belum makan nasi” seolah nasi adalah menu yang harus disantap setiap harinya. Mungkin beberapa dari kita turut mengiyakan pepatah tersebut. Tak ada makanan karbohidrat lainnya yang bisa menggantikan posisi nasi dalam menu kita, bahkan roti sekalipun.

Menjadikan nasi sebagai esensi menu makanan sehari-hari bukan persoalan besar. Kita diuntungkan dengan letak geografis Indonesia yang menjadikan lahan yang kita miliki sangat luas dan subur untuk dapat ditanami beragam tanaman, termasuk padi. Keuntungan ini mempermudah kita untuk mendapatkan bahan pokok, seperti beras. Namun, terkadang kita lupa bahwa kondisi tanah di Indonesia juga sangat beragam. Ada beberapa tanah yang sulit untuk ditanami tumbuhan tertentu. Seperti di Gunung Kidul, Yogyakarta, yang merupakan kawasan karst. Di tanah ini, ketela tumbuh lebih baik ketimbang padi.

Sagu menjadi tanaman yang mudah dijumpai di Papua. Salah satu bentuk olahan tanaman khas Bumi Cenderawasih ini adalah papeda. Karena banyak tumbuh di Papua, sagu menjadi makanan khas Papua. Nutrisi yang terkandung di dalam sagu tak kalah dari nasi. Keduanya bisa menjadi sumber karbohidrat dalam menu sehari-hari. Namun, kita seringkali terjebak dalam pandangan bahwa hanya nasi yang dapat memenuhi kebutuhan karbohidrat kita. Kita biasa melihat masyarakat yang tidak memakan nasi sebagai masyarakat yang kurang mampu. Menghilangkan nasi dalam menu sehari-hari tampaknya menjadi suatu hal yang keliru karena nasi adalah makanan pokok masyarakat Indonesia.

Di Gunung Kidul, mungkin kita merasa prihatin melihat masyarakat lokal yang hanya makan dengan ketela tanpa nasi. Kita luput akan pengetahuan bahwa kedua tanaman tersebut lebih mudah tumbuh di tanah mereka yang merupakan kawasan karst. Mereka tidak memakan nasi bukan karena tak mampu membeli beras, bisa saja mereka memilih ketela karena mudah tumbuh di kebun mereka. Alih-alih menanam padi yang sulit tumbuh di daerah mereka, mereka memilih menanam tanaman yang memang ditakdirkan untuk tumbuh di tanah mereka. Dengan menanam ketela, masyarakat Gunung Kidul berupaya memanfaatkan tanah mereka secara optimal. Dibanding membuka lahan baru untuk menanam padi yang kurang baik untuk tumbuh di tanah mereka.

Persoalannya, stereotip ini telah menguasai pemikiran masyarakat Indonesia yang sulit dilepaskan dari nasi. Tanaman padi membutuhkan lahan yang luas. Mau tidak mau Indonesia harus melakukan deforestrasi demi meningkatkan produksi pangan. Salah satu program yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini adalah “Food Estate”. Dalam program ini, lahan yang luas akan disulap menjadi pertanian yang seringkali kurang efisien. Jika dibandingkan Belanda, negara kecil yang menjadi eksportir pangan dunia, Indonesia dengan lahan yang membentang di dua samudra Hindia dan Pasifik masih kalah jauh. Inovasi yang dilakukan Belanda seharusnya bisa menjadi contoh agar Indonesia lebih optimis dalam memaksimalkan lahan yang ada. Daripada menambah luas deforestrasi, Indonesia bisa mulai mengadopsi teknologi supaya petani bisa mendapatkan hasil yang optimal dari lahan mereka.

Tentang Penulis
Brigita Purnama
Jurnalistik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2022-05-09
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *