Langkah Indonesia Dalam Upaya Mengatasi Pemanasan Global

Artikel
Langkah Indonesia Dalam Upaya Mengatasi Pemanasan Global
Aktivitas, Kehutanan, Pertanian, Perubahan Iklim, Tata Kelola Sampah
286
19 Agustus 2023
Sekretariat Kabinet RI
Penulis
Adi
1
posting

Urgensi Mengatasi Pemanasan Global

Setelah berbagai bencana alam yang dialami manusia akibat aktivitas manusia di muka bumi, kesadaran para pemimpin negara di dunia telah membangkitkan kesadaran akan perubahan konsep pembangunan yang dilakukan. Kesadaran bahwa pembangunan tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi, tetapi keseimbangan ekologi dan sosial budaya merupakan bagian yang bersinergi dengan pembangunan. Untuk mewujudkan Protokol Kyoto, pengendalian perubahan iklim, para pihak mengadakan pertemuan dan menghasilkan Perjanjian Paris 2015 dan kemudian Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Perjanjian Paris terhadap Konvensi Kerangka Kerja PBB Tentang Perubahan Iklim. Perjanjian Paris berisi kewajiban Pemerintah untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan secara nasional untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celcius hingga 1,5 derajat Celcius dari tingkat pra-industri.

Indonesia terletak pada wilayah geografis yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dan secara umum rata-rata kenaikan suhu di wilayah Indonesia diperkirakan mencapai 0,5 – 3,92 derajat Celcius. Presiden RI Jokowi pada COP ke-26 di Glasgow tahun 2021, berkomitmen untuk menjalankan kewajibannya menurunkan emisi gas rumah kaca, menekan laju kenaikan suhu bumi secepat mungkin, dengan berbagai skema. Saat ini suhu dunia sudah meningkat menjadi 2,5 derajat Celcius, Amerika akan mengadakan forum untuk membahas hal tersebut karena berdampak pada kebijakan global masing-masing negara. Ini menunjukkan betapa seriusnya komitmen semua pemerintah untuk menyelamatkan bumi.

Pada tahun 2022, Indonesia memperkuat target Nationally Defined Contribution (NDC) melalui Enhanced NDC sebesar 31,89% dengan usaha sendiri hingga 43,20% dengan bantuan internasional. NDC merupakan kontribusi para pihak yang diserahkan kepada UNFCCC, di mana mereka mengkomunikasikan ambisi untuk berpartisipasi dalam upaya global untuk mengurangi laju pemanasan globalSebelumnya target NDC Indonesia sebesar 29%-41%, dengan capaian tahun 2021 sebesar 43,82%.

Terdapat 5 sektor dalam NDC yang berperan dalam penurunan emisi GRK, yaitu energi, limbah, industrial processes and production use (IPPU), pertanian, dan kehutanan. Berdasarkan Laporan Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Tahun 2021 dan Laporan Pemantauan, Pelaporan, dan Verifikasi (MPV) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tingkat emisi GRK nasional pada tahun 2020 adalah 1.050.413 Gg CO2e, dan sektor energi merupakan yang paling signifikan. penyumbang yaitu 584.284 Gg CO2 (56 %). Dari sektor energi, emisi GRK di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat pada tahun 2021-2030 seiring dengan meningkatnya penggunaan bahan bakar minyak (BBM), gas, dan batubara (Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).

Permasalahan global salah satunya di Indonesia kondisi saat ini kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim diproyeksikan mencapai 35 – 40 cm pada tahun 2050 dan akan meningkat jika terjadi pencairan es di kutub utara dan selatan. Sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan hampir 65% penduduknya tinggal di wilayah pesisir, juga sebagai negara yang memiliki hutan terluas kedua di dunia, total luas hutan di Indonesia akan mencapai 125,76 juta hektar (ha) pada tahun 2022 (Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), yang berfungsi menyerap gas CO2 ( salah satu penyumbang emisi GRK yang paling signifikan ) maka Indonesia berkepentingan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dan cepat untuk menurunkan emisi GRK.

Aktivis Nilai Pidato Wapres RI di COP 27 Tawarkan Solusi Palsu

Langkah Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca

UUD 1945 pasal 3 menyatakan:

  • bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ‘dikuasai oleh negara’ dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  •  bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Kewenangan negara menguasai sumber daya alam, fungsinya adalah: mengatur, mengurus, membuat kebijakan, mengelola, dan mengawasi. Fungsi-fungsi tersebut merupakan perangkat yang dijalankan oleh negara sebagai kesatuan yang tujuan utamanya adalah mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang dijabarkan dalam 4  hal, yaitu:

  1.     manfaat sumber daya alam untuk rakyat;
  2.     tingkat distribusi sumber daya alam untuk rakyat;
  3.     tingkat partisipasi masyarakat dalam menentukan manfaat sumber daya alam;
  4.    penghormatan terhadap hak-hak rakyat dari generasi ke generasi dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Negara ‘menguasai’ sumber daya alam, tujuan utamanya adalah untuk mencapai kemakmuran rakyat Indonesia, dan instrumen untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk peraturan, untuk mengatur, mengelola, mengawasi, dan bagaimana mengelolanya.  Cakupan kemakmuran tidak hanya kekayaan tetapi juga meliputi terpenuhinya lingkungan yang sehat, yang menunjukkan kualitas hidup manusia dan setiap orang ‘berhak’ untuk mendapatkan lingkungan yang sehat (Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Hukum ada untuk mengatur agar interaksi manusia dalam masyarakat dan dalam memanfaatkan sumber daya alam berlangsung secara tertib sehingga hak setiap orang atas lingkungan hidup yang sehat dapat terpenuhi. Hukum ada untuk membatasi ruang gerak individu. Oleh karena itu hukum adalah kekuasaan karena hanya kekuasaanlah yang memiliki ‘kekuatan’ untuk membatasi ruang gerak individu agar tertib dalam berinteraksi dengan manusia lain dan dengan lingkungannya.

Dalam mencapai kemakmuran, Indonesia berinteraksi dengan negara-negara lain di dunia dari aspek politik, ekonomi, pertahanan, dan kesehatan, termasuk upaya yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di muka bumi. Dalam berbagai konvensi internasional di bidang lingkungan sebagaimana diuraikan di atas, Indonesia berperan aktif, termasuk meratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan pemanasan global. Meratifikasi konvensi berarti berkomitmen untuk melaksanakan kesepakatan untuk mengatasi pemanasan global dengan melakukan pembangunan rendah emisi. Perjanjian Paris menetapkan suatu Komitmen Nasional untuk penanganan perubahan iklim global yang disebut dengan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional , yang selanjutnya disingkat NDC. Sedangkan karbon sebagai indikator universal dalam mengukur kinerja upaya pengendalian perubahan iklim tercermin dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional, Target NDC meliputi:

  1. menetapkan kebijakan dan langkah serta melaksanakan kegiatan sesuai komitmen Pemerintah dalam bentuk Penurunan Emisi GRK ; dan
  2. membangun ketahanan nasional, daerah, dan masyarakat terhadap berbagai risiko perubahan iklim atau ketahanan iklim.(Pasal 2 angka 3 Perpres No. 98 Tahun 2021).

Capaian dalam penanganan perubahan iklim di Indonesia pada periode 2021-2022, laju deforestasi menurun menjadi 104 ribu hektar dari periode sebelumnya 113,5 ribu hektar, yang dilakukan melalui kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, pengendalian perizinan, dan penegakan hukum.

Indonesia terlibat dalam forum terkait perubahan iklim global seperti pada:

Untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia menargetkan:

  1. Tahun 2024, mengajukan NDC kedua untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi GRK target 2035, dengan penambahan sektor kelautan ke sektor NDC.
  2. Memperkuat penurunan emisi GRK di sektor kehutanan berdasarkan Indonesia FOLU Net Sink 2030.
  3. Dekarbonisasi sektor energi dengan agenda pensiun dini pembangkit listrik berbahan bakar batubara, kebijakan energi hijau, pencapaian target bauran energi, dan pengembangan kawasan industri hijau.
  4. Rencana kebijakan Zero Waste Emission pada tahun 2040 untuk menurunkan emisi GRK ( gas metana) di bidang persampahan.
  5. Mengurangi penggunaan HFCs bahan perusak lapisan ozon sesuai amandemen Kigali yang telah disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 129 Tahun 2022 Tentang Pengesahan Amandemen Protokol Montreal Tentang Bahan Perusak Lapisan Ozon , Kigali, 2016.

Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menurunkan Emisi GRK

Akibat hukum Indonesia meratifikasi berbagai konvensi internasional terkait perubahan iklim adalah adanya kewajiban untuk melaksanakan isi konvensi tersebut. Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia adalah:

  • Menahan laju peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat di atas tingkat pra-industri dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, menyadari bahwa upaya ini akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak iklim mengubah;
  • Meningkatkan daya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan mendorong ketahanan iklim serta melaksanakan pembangunan yang rendah emisi gas rumah kaca, tanpa mengancam produksi pangan; Dan
  • Menciptakan aliran dana yang sejalan dengan arah pembangunan yang rendah emisi gas rumah kaca dan berketahanan iklim (pasal 2 Perjanjian Paris).

Kebijakan dimaksud yang telah diterbitkan dalam peraturan saat ini  sebagai berikut:

  1. UU Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention On Climate Change
  2. Perpres Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional
  3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 21 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Ekonomi Karbon ;
  4. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 tentang pelaksanaan perdagangan karbon sub bidang pembangkit listrik, khusus perdagangan emisi untuk PLTU yang mensyaratkan pagu emisi GRK
  5. Permenkomarves No 5 Tahun 2022 tentang Struktur dan Tata Kerja Komite Pengarah Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional
  6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan
  7. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
  8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon

Regulasi terkait penurunan emisi lintas sektor di Indonesia

Tujuan dibuatnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 adalah sebagai dasar pelaksanaan NEK dan sebagai pedoman penurunan Emisi GRK melalui kebijakan, langkah, dan kegiatan untuk mencapai Target NDC dan pengendalian Emisi GRK dalam pembangunan nasional. NEK (Nilai Ekonomi Karbon) adalah nilai setiap satuan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi. Oleh karena itu peran serta semua pihak yang terdiri dari;

  1. industri yang sedang menjalankan pabrik yang mengeluarkan emisi GRK;
  2. pembangkit listrik yang sedang dalam proses masih menggunakan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi GRK;
  3. pengangkutan kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi GRK;
  4. pemerintah daerah dalam mengelola sampah yang tumpukannya menghasilkan emisi gas metana (CH4) GRK, dan harus ada upaya pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di wilayahnya;
  5. masyarakat yang perilakunya belum ramah lingkungan juga merupakan penghasil emisi GRK dalam aktivitasnya, dll.

Sebagai salah satu negara pihak UNFCCC, Indonesia mendukung pencapaian target global dalam Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata bumi tidak  melebihi 1,5°Celcius melalui target penurunan emisi GRK. Komitmen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) sebesar 31,89%-43,20% pada Tahun 2030 serta target Net Zero Emmission (NZE) yang dicapai pada Tahun 2060 atau lebih cepat. Capaian penurunan emisi GRK Nasional tahun 2021 sebesar 43,82% (889,79 juta ton CO2e dari target sebesar 2.030,52 juta ton CO2e)

Penurunan emisi GRK yang paling utama adalah pada sektor kehutanan karena hutan memiliki kemampuan menyerap CO2 sebagai penyebab emisi GRK yang paling dominan. Kebijakan di bidang kehutanan, pertanian, dan perkebunan harus mendapat perhatian serius, termasuk menanamkan kesadaran masyarakat akan fungsi pohon sebagai penyerap emisi GRK dan mengubah pola pikir masyarakat untuk menjadikan pohon sebagai sahabatnya. Istilah perdagangan karbon pada dasarnya bertumpu pada pelestarian hutan dan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, terkait dengan hutan sebagai bank karbon, yang memiliki kemampuan menyerap CO2 yang merupakan emisi GRK paling dominan.

Perpres Nomor 98 Tahun 2021 menyebutkan bahwa pelaksanaan mitigasi perubahan iklim dilakukan pada sektor: Energi, Limbah, Industri dan Pemanfaatan Produk, Pertanian, dan Kehutanan (Pasal 7 Perpres No.98 Tahun 2021). Penyelenggara mitigasi perubahan iklim dilakukan oleh (Pasal 6 ayat 2 Perpres Nomor 98 Tahun 2021):

  1. Kementerian/Lembaga;
  2. Pemerintah daerah;
  3. Pelaku usaha;
  4. Masyarakat.

Kebijakan Pengendalian Emisi GRK Bidang Energi

Betahita | Emisi Karbon Dunia Meningkat

Transisi energi merupakan proses panjang yang harus dilakukan negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi karbon yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Kesepakatan transisi energi bertujuan untuk mencapai titik yang sama, yaitu peningkatan penggunaan energi bersih. Transisi energi diperlukan untuk mengubah pemanfaatan dan penggunaan bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan. Selain itu, transisi energi juga akan mengubah banyak hal, antara lain perubahan pekerjaan, skenario pengembangan, orientasi bisnis, dan lain-lain. Oleh karena itu, diperlukan strategi dan mekanisme yang tepat untuk mengidentifikasi tantangan saat ini dan masa depan, sehingga transisi energi rendah karbon yang adil dan merata dapat dilaksanakan dengan baik. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan NEK, secara teknis sudah mengatur tentang Persetujuan Teknis Batasan Emisi GRK (PTBAE) mengenai pembangkit listrik yang selama ini dalam kegiatannya banyak menghasilkan emisi GRK, terutama yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, merupakan wujud komitmen Pemerintah untuk turut andil dalam pengendalian emisi gas rumah kaca di bidang energi. Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022, menyebutkan bahwa dalam melaksanakan NEK, pembangkit tenaga listrik wajib melakukan efisiensi pembangkitan tenaga listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan dan mengutamakan Offset Emisi GRK. Pelaksanaan NEK subbidang pembangkitan tenaga listrik sebagaimana diatur dalam Pasal 2 meliputi:

1)    penetapan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi GRK (PTBAE) untuk pembangkit tenaga listrik;

2)     penyiapan rencana pemantauan Emisi GRK untuk pembangkit tenaga listrik;

3)     penetapan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi GRK Pelaku Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik (PTBAE-PU);

4)    Perdagangan karbon;

5)     penyusunan laporan Emisi GRK untuk pembangkit listrik; Dan

6)     evaluasi pelaksanaan Carbon Trading dan tender PTBAE-PU.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 mengatur tentang kewajiban Pelaku Usaha Peserta Perdagangan Karbon untuk menyusun rencana tahunan pemantauan Emisi GRK pembangkit listrik di setiap unit pembangkit listrik. Hal ini merupakan langkah maju dalam implementasi komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK dalam upaya pencegahan pemanasan global dan perubahan iklim. Secara ekologis dapat dijelaskan dengan jelas bahwa skema perdagangan ini, setidaknya relatif mampu menahan laju deforestasi hutan dan degradasi lingkungan.

Kebijakan Pengendalian Emisi GRK Sektoral terkait Sampah/Limbah

Emisi Karbon Pembakaran Sampah di Jabodetabek Setara Kebakaran 108.000 Hektar Hutan Halaman all - Kompas.com

Sumber emisi gas rumah kaca merupakan penyebab pemanasan global yang kemudian memicu perubahan iklim, selain CO2 terdapat senyawa lain yaitu metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC) dan sulfur heksafluorida. Saat ini, sampah atau sampah masih menjadi masalah di beberapa kota besar di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada 18,89 juta ton sampah yang dihasilkan per tahun. Adapun komposisinya, sekitar 41,1% atau sekitar 7,76 juta ton berupa sisa makanan yang mayoritas berasal dari rumah tangga.

Tumpukan sampah menghasilkan gas metana (CH4) yang dihasilkan dari proses anaerobik pada proses penguraian sampah di TPA dan gas nitro oksida (N2O) yang dihasilkan dari proses biologis pada kegiatan pengomposan. Selain itu, masih ada masyarakat yang membakar dan/atau menumpuk sampah di tempat terbuka. Selain menghasilkan GRK, pembakaran sampah secara terbuka menghasilkan partikulat dan senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Sampah bukan hanya masalah sosial, estetika, dan kesehatan masyarakat tetapi juga sumber emisi GRK.

Sampah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Undang-undang ini mengatur bagaimana mengolah sampah menjadi sumber daya yang memiliki nilai ekonomi, sebagai salah satu cara untuk meminimalisir penumpukan sampah, dengan melibatkan partisipasi masyarakat yang didukung peran pemerintah daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengurangan sampah meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. pembatasan timbulan sampah;

b . daur ulang limbah; dan/atau

c . penggunaan kembali limbah.

Sampai saat ini program R3 (re-use, re-cycle, reduce) belum berjalan maksimal, sehingga jika dilaksanakan sesuai amanat undang-undang, gas CH4 (yang berasal dari TPA) tidak akan memberikan kontribusi emisi GRK . Tantangan bagi pemerintah ke depan adalah regulasi tidak akan mampu menyelesaikan masalah jika tidak ditindaklanjuti, dilaksanakan, dan tidak diawasi pelaksanaannya. Regulasi itu bukan kebijakan ‘babi ayam’, tapi komitmen untuk menyelesaikan masalah.

Penurunan emisi GRK yang signifikan dari sampah TPA di TPA akan terjadi jika pengelolaan sampah dilakukan secara ramah lingkungan, melalui kegiatan 3R (Reduce, Reuse, Recycle), perbaikan proses pengelolaan sampah di TPA dan pemanfaatan sampah menjadi energi. Pemerintah daerah harus memisahkan dan menyediakan truk untuk mengangkut sampah organik dan truk untuk mengangkut sampah anorganik, yang akan memfasilitasi daur ulang dan dengan demikian meminimalkan terjadinya TPA.

Berdasarkan Global Warming Potential Index (GWP), emisi metana memiliki efek 21 kali lipat dibandingkan dengan emisi karbon dioksida.

Berikut data sampah yang akan dilakukan di 170 kabupaten/kota seluruh Indonesia pada tahun 2022 (sumber: https://sipsn.menlhk.go.id/ ), sbb:

  •       Timbulan Sampah: 19.588.922,8 (ton/tahun)
  •       Pengurangan Sampah: 25,3%, 4.955.570,42 ( ton /tahun)
  •       Penanganan Sampah: 49,2%, 9.638.552,16 ( ton /tahun)
  •       Sampah yang dikelola: 74,5%, 14.594.122,58 (ton/tahun)
  •       Sampah yang Tidak Terkelola: 25,5 % , 4.994.800,25 (ton/tahun)

Sampah yang tidak terkelola setiap tahunnya 4.994.800,25 ton /tahun, jumlah yang cukup besar untuk dikelola dan dijadikan sumber energi listrik alternatif di masa mendatang, menggantikan PLTU yang masih menggunakan batubara, yang ditargetkan Presiden Jokowi pada tahun 2050 untuk meniadakan PLTU yang menggunakan batubara bahan bakar fosil.

Kebijakan Pengendalian Emisi GRK Terkait Industri dan Penggunaan Produk:

Emisi gas rumah kaca dihasilkan dari berbagai aktivitas industri. Emisi dari Proses Industri dan Penggunaan Produk di jenis industri:

  • Industri Mineral
  • Industri kimia
  • Industri Logam
  • Produk Non Energi dan Penggunaan Pelarut/Pelarut
  • Industri Elektronik
  • Penggunaan produk yang mengandung senyawa yang menggantikan zat perusak ozon
  • Produk Manufaktur Lainnya dan Kegunaannya

 

Sumber-sumber emisi utama adalah dilepaskannya (gas rumah kaca) dari proses-proses industri yang secara kimiawi atau fisik melakukan transformasi suatu bahan/material menjadi bahan lain (misal blast furnace di industri besi dan baja, produksi amonia dan produk-produk kimia lainnya dari bahan baku berupa bahan bakar fosil,serta proses produksi semen). Proses-proses tersebut dapat menghasilkan berbagai gas rumah kaca diantaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC) dan perfluorokarbon (PFC). Selain itu, gas rumah kaca juga digunakan sebagai bahan baku di dalam produkproduk seperti pada refrigerator, busa atau kaleng aerosol.

Sebagai contoh, HFC yang digunakan sebagai alternatif bahan pengganti bahan perusak ozon (BPO) dalam berbagai jenis aplikasi produk. Demikian pula, sulfur heksafluorida (SF6) dan N2O yang digunakan dalam sejumlah produk yang digunakan dalam industry. Misalnya, SF6 digunakan dalam beberapa peralatan listrik dan gardu-gardu induk pembangkitan listrik, N2O digunakan sebagai propelan aerosol dalam produk terutama di industri makanan. Aplikasi lainnya adalah penggunaan bahan-bahan ini pada akhir siklus – digunakan oleh konsumen (misalnya, SF6 digunakan di produk sepatu lari, N2O digunakan selama anestesi, dan lain-lain.  Dalam beberapa aplikasi (misal pada refrigerant), sebagian dari GRK yang digunakan dapat diambil kembali di titik akhir umur produk tersebut, untuk recycle atau dihancurkan.

Selain dari IPPU, sektor industri juga menghasilkan emisi GRK dari pembakaran bahan bakar untuk keperluan energi dan dari pengolahan limbah. Dalam inventarisasi GRK, emisi dari pembakaran bahan bakar dilaporkan dalam inventarisasi sektor energi sedangkan emisi dari pengolahan limbah dilaporkan dalam inventarisasi sektor limbah.

Kebijakan Pengendalian Emisi GRK Bidang Pertanian dan Kehutanan

Mengenal Carbon Farming: Teknik Pertanian yang Bisa Selamatkan Lingkungan

Ini termasuk emisi dari:

  • Peternakan
  • Hutan Lahan Padang Rumput Lahan Pertanian. Lahan Basah, Pemukiman
  • Emisi dari pembakaran biomassa
  • Pengapuran
  • Penggunaan Urea
  • Emisi N2O langsung dari pengelolaan lahan
  • Emisi N2O tidak langsung dari pengelolaan tanah dan pengelolaan pupuk
  • Pengelolaan sawah

Tujuan Indonesia untuk mencapai puncak emisi GRK nasional pada tahun 2030, dengan net sink pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan, dan untuk maju lebih jauh menuju emisi net-zero pada tahun 2060 atau lebih cepat. Demikian pula, strategi tersebut bertujuan untuk mengurangi potensi kerugian PDB negara sebesar 3,45% akibat perubahan iklim pada tahun 2050 dengan meningkatkan ketahanan dalam empat kebutuhan pembangunan sosial-ekonomi dasar: pangan, air, energi, dan kesehatan lingkungan. Menurut Updated NDC, Indonesia bertaruh pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan dan sektor energi untuk berkontribusi paling besar terhadap target pengurangan emisi, dengan sektor kehutanan dan penggunaan lahan menyumbang 24,1 persen dari angka tersebut, setara dengan 692 metrik ton karbon dioksida ekuivalen. (Mton CO2e), dan sektor energi menyumbang 15,5 persen atau 446 Mton CO2e. Pemerintah memiliki tujuan agar sektor kehutanan dapat melampaui netralitas karbon untuk menjadi net sink karbon pada tahun 2030.

Masa Depan kebijakan perubahan iklim Indonesia  

Masyarakat akan 'mulai merasakan dampak perubahan iklim' - BBC News Indonesia

Perubahan iklim telah menjadi permasalahan global yang memberikan dampak pasti dan tidak terelakan lagi di tingkat regional maupun internasional. Meningginya permukaan air laut, mencairnya es di kutub, sampai kerugian ekonomi di wilayah Pasifik sebagaimana dilansir oleh Asian Development Bank di tahun 2013. Meningkatnya pemanasan global dan produksi gas rumah kaca memberikan ancaman tersendiri untuk pembangunan berkelanjutan. Adanya komitmen warga dunia dalam menjalin kerja sama guna menekan produksi gas rumah kaca dan menanggulangi dampak perubahan iklim dapat dilihat dari beberapa instrumen internasional terkait hal tersebut yang secara bertahap telah dihasilkan dan diemplementasikan. Adanya kerja sama dari negara-negara maju sebagai penyumbang gas emisi terbanyak dengan negara-negara berkembang seharusnya mampu menghasilkan kolaborasi yang cukup baik dalam upaya penanganan dampak perubahan iklim. Indonesia, dalam hal ini sesuai dengan prinsip common but differentiated responsibilities turut serta dalam upaya penanganan perubahan iklim dengan ratifikasi perjanjian internasional, implementasi melalui satuan petugas khusus di bidang perubahan iklim, dan penegakan hukum dalam upaya melestarikan lingkungan.

Untuk mencapai target Enhanced NDC pada 2030, Indonesia secara kontinyu memperkuat kolaborasi sektor swasta dan mendorong pembiayaan yang kreatif dan inovatif. Indonesia membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Indonesia, serta SDG Indonesia One untuk mencari dan membuka proyek investasi, terutama di sektor energi, pertanian, transportasi, dan lingkungan, yang akan menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi masa depan yang lebih hijau. Pemerintah juga terus mengakselerasi ekonomi berbasis industri hijau melalui efisiensi sumber daya alam dan penerapan ekonomi sirkular, pemanfaatan energi alternatif seperti biofuel, dan refuse derived fuel (RDF) atau bahan bakar yang dihasilkan dari berbagai jenis limbah. Selain itu, pembangunan ekosistem kendaraan listrik juga terus diakselerasi dengan memberikan insentif dari sisi permintaan untuk mempercepat sektor industri ramah lingkungan yang mampu mengurangi emisi CO2 dan konsumsi bahan bakar fosil.

Perubahan iklim merupakan masalah lintas generasi yang menjadi tantangan dan memengaruhi berbagai usia dan jenis kelamin di berbagai daerah, sehingga hal tersebut harus menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya dalam mengatasi dan memastikan generasi mendatang mendapatkan masa depan yang layak dan berkelanjutan.

 

Sumber:

  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change
  • UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
  • UU  Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  • UU Nomor  31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
  • Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penerapan Nilai Ekonomi Karbon
  • Peraturan Presiden Nomor 129 Tahun 2022 Tentang Pengesahan Perubahan Protokol Montreal Tentang Bahan Perusak Lapisan Ozon, Kigali, 2016
  • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan  No. 21 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Ekonomi Karbon;
  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 tentang pelaksanaan perdagangan karbon sub bidang pembangkit listrik, khusus perdagangan emisi untuk PLTU yang mensyaratkan pagu emisi GRK
  • Permenkomarves No 5 Tahun 2022 tentang Struktur dan Tata Kerja Komite Pengarah Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional
  • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan
  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
  • Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon
  • Daryanto, Asma Karim, Perda Responsif , Malang: Setara Press, 2019.
  • Erni Nurbaningsih , Permasalahan Perda , Jakarta : Rajagrafindo persada , 2019.
  • Hadi P.Sudharto , Perencanaan Pembangunan Dimensi Lingkungan ( Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada  Press, 2001 ) .
  • Kusumohamidjoyo Budiono . Dilema Teori Hukum Antara Hukum dan Kekuasaan , Bandung: Yrama Penerbit Wydia , 2016.
  • Dundin Zaenudin , Anang Hidayat dan Teddy Lesmana, “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat”, Policy Brief, LIPI, 02/2014.
  • Samsul Maarif dkk, “Pembangunan Nasional: Kearifan Lokal Sebagai Sarana dan Sasaran Membangun Masyarakat Bagi Masyarakat Ammatoa ”, Jurnal Masyarakat Budaya dan Politik, Vol 26 No.3, 2013.
  • Robert Siburian , “ Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten Manokwari ”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol 20 No.3, 2018.
  • Rizqha Sepriyanti Burano , “Pengembangan Kawasan Pedesaan Berkelanjutan Berbasis Pertanian Lahan Basah”, Jurnal Pertanian Faperta UMSB Vol.1 No.1 Juni 2017.
  • Reni, Renoati , “Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Desa di Era Autoda Dalam Rangka Mendukung Pembangunan Berkelanjutan”, Jurnal Mimbar Hukum, UGM, No. 43/II Februari, 2013.
  • Rahayu Salam, “Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Wangi-Wangi”, Jurnal WALASUJI Volume 8, No.1 (Juni 2017).
  • https://setkab.go.id
  • http://ppid.menlhk.go.id/
  • https://news.detik.com/berita
  • https://www.bbc.com

Greta Thunberg calls COP26 'Global North greenwash festival'

#adaptasi perubahan iklim #keanekaragamanhayati #panganlokal #festivalgolokoe

13
Bagikan:

Komentar (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *