Burung bidadari: Si cantik dari Halmahera, dengan suara cetar membahana

Satwa
Burung bidadari: Si cantik dari Halmahera, dengan suara cetar membahana
1 Desember 2014
2049

Untuk mempromosikan objek wisata flora dan fauna di kawasan timur Indonesia, khususnya Halmahera, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parenkraf) berencana menjalin kerja sama dengan Pemkab Halmahera Barat untuk mengekspose keindahan burung bidadari (Semioptera wallacii). Burung bidadari merupakan fauna endemik di Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Selain rupanya yang cantik, gayanya yang unik, suaranya pun cetar membahana.

Burung bidadari: Cendrawasih mini dari Halmahera
“Kementerian Parenkraf juga meminta kami untuk mengekspose keindahan burung ini, melalui kegiatan wisata ekspedisi seperti yang pernah dilakukan Pemuda Jailolo dalam FTJ 2012,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokoler Pemkab Halmahera Barat, Syarif Ali.
Burung bidadari ditemukan pertama kali oleh Alfred Russel Wallace di Pulau Bacan, Maluku Utara, tahun 1858. Wallace menyebutnya sebagai bird of paradise karena kecantikan burung ini. Penemuan itu lalu ditulisnya dalam sebuah laporan yang dikirim ke Inggris. Setahun kemudian, laporannya menjadi bahan kajian para ornitholog di Inggris.
Burung ini kemudian ditetapkan berada dalam keluarga Paradisaeidae, dengan genus dan nama spesies Semioptera wallacii. Nama ini sebagai penghargaan terhadap Wallace, naturalis asal Inggris yang hidup pada tahun 1823 – 1913 itu.
Meski IUCN menetapkan statusnya masih Least Concern (LC), atau belum mengkhawatirkan, para ahli di Indonesia justru mengatakan burung ini terancam punah. Populasinya di alam bebas disebutkan hanya tinggal 50 – 100 ekor. Pemerintah pun memasukkan burung bidadari dalam daftar jenis burung yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Menipisnya populasi burung bidadari bukan disebabkan penangkapan burung, melainkan akibat penebangan dan penjarahan hutan di Halmahera, terutama jenis kayu matowa. Akibatnya, spesies ini bidadari kehilangan habitat dan banyak yang mati.
“Kawasan hutan yang merupakan habitat burung bidadari telah rusak, antara lain akibat maraknya aksi perambahan hutan dan pembalakan liar,” kata Djafar, aktivis lingkungan di Ternate (Kompas; 6/6/2010).
Selain itu, kawasan hutan yang menjadi habitat burung bidadari juga beralih fungsi menjadi lahan pertanian, lokasi transmigrasi, areal hak pengusahaan hutan (HPH), dan pertambangan. “Yang paling bertanggung jawab atas rusaknya habitat burung bidadari adalah alih fungsi area HPH dan pertambangan,” tambah Djafar.
Karakteristik fisik burung bidadari
Burung bidadari dijuluki pula sebagai cendrawasih kecil, karena panjang tubuhnya hanya sekitar 28 cm. Sebagaimana burung bidadari, cendrawasih pun berada dalam genus yang sama, yaitu Semioptera.
Warna bulu pada burung bidadari umumnya cokelat zaitun. Pada burung jantan terdapat mahkota berwarna ungu atau ungu-pucat yang mengkilat. Sedangkan bagian leher dan dadanya berwarna hijau zamrud. Bulu dadanya terlihat seperti perisai atau bulu pelindung. Tetapi makin ke bawah, bulu-bulunya seperti terpisah menjadi dua bagian, masing-masing ke arah sayap kanan dan kiri.
Yang khas dari burung ini adalah keberadaan dua pasang bulu (4 helai) yang panjang dan melengkung, yang keluar dari pangkal sayapnya. Warna bulu khas ini putih susu, yang dapat dijulurkan atau diturunkan sesuai dengan keinginan si burung.
Bulu khas itu tidak lebar, tetapi sangat lembut dan seperti teranyam pada sayapnya. Panjang bulu khas bisa mencapai 15 cm, dan hanya menjulur pada saat-saat tertentu yang diinginkan burung. Biasanya, si jantan akan menjulurkan bulu khasnya saat fajar menyingsing, saat melakukan atraksi di puncak pohon untuk menarik perhatian pasangannya.
Bulu khas hanya dimiliki burung jantan. Burung betina tidak memilikinya. Bahkan warna bulu betina cenderung monoton, didominasi warna cokelat zaitun. Selain itu, postur betina juga lebih kecil daripada burung jantan. Tetapi bulu ekornya justru lebih panjang.
Kaki burung bidadari berwarna kuning kemerahan, sedangkan paruh berwarna seperti tanduk, dan matanya hijau seperti buah zaitun.
Habitat dan kebiasaan

Burung bidadari hanya bisa dijumpai di hutan-hutan yang ada di Pulau Halmahera.

Burung bidadari mendiami kawasan hutan di Tanah Putih, Gunung Gamkonora, hutan Domato (Halmahera Barat), hutan Labi-labi di area Taman Nasional Aketajawe, hutan Lolobata (Halmahera Timur). Selain kawasan tersebut, burung bidadari terkadang bisa ditemui di kawasan hutan Wasiley (Halmahera Tengah), Gunung Sibela dan Pulau Bacan (Halmahera Selatan).
Masyarakat setempat menyebutnya burung weka-weka. Sedangkan literatur perburungan internasional disebut sebagai standardwing, standard-wing bird of paradise, atau wallace’s standardwing.
Makanannya terdiri atas serangga, artropoda dan buah-buahan, terutama buah tanaman matowa. Burung jantan bersifat poligami. Pada musim kawin, burung jantan akan melakukan tarian yang indah dan genit untuk merayu burung betina, terutama saat pagi dan sore hari.
Si jantan akan memamerkan bulu-bulunya, dengan terbang sambil membentangkan sayapnya, serta menari dengan genitnya. Ia juga akan mengembangkan bulu pelindung dadanya yang berwarna hijau, serta menjulurkan dua pasang bulu khasnya yang berwarna putih susu. Jika tertarik, burung betina akan menghampiri dan memilih salah satu pejantan yang dinilainya paling jago dalam menari.

Sumber : http://omkicau.com/2013/02/27/burung-bidadari-si-cantik-dari-halmahera-dengan-suara-cetar-membahana/

Tentang Penulis
Dewi Ayu Anindita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2015-07-01
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *